Gencatan senjata di Sudan yang belum berlangsung 24 jam telah dilanggar oleh kedua belah pihak yang bertikai. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda pertempuran akan mereda. Warga berusaha bertahan di rumah masing-masing tanpa ada aliran listrik, gas, dan air bersih.
Konflik terjadi antara militer Sudan yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pimpinan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. Mereka bertempur sejak Sabtu (15/4/2023) di ibu kota Khartoum dan kota-kota lain, yaitu Omdurran dan Darfur.
Pada Selasa (18/4/2023), Dagalo menyetujui gencatan senjata selama 24 jam. Keputusan ini ia ambil setelah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, serta negara-negara sahabat dan tetangga Sudan.
Baca juga: Sudan Setujui Gencatan Senjata 24 Jam
Semestinya gencatan itu dimulai pada 18 April pukul 18.00 waktu setempat. Akan tetapi, warga mengatakan, pertempuran masih berlangsung. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, telah jatuh 185 korban tewas dan 1.800 korban luka-luka. ”Belum ada tanda-tanda kedua belah pihak mau menghentikan pertempuran, apalagi duduk bersama untuk perundingan damai,” tulis keterangan resmi Kantor Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Rabu (19/4/2023).
Baik Dagalo maupun Burhan saling menyalahkan. Dagalo menuduh militer Sudan melanggar kesepakatan gencatan senjata, demikian pula sebaliknya. Kedua jenderal ini awalnya bersahabat. Mereka berkomplot melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil Sudan pada 2021
Dalam transisi menuju pemerintahan sipil yang baru, RSF harus dilebur ke dalam militer Sudan. Dagalo tidak menerima keputusan ini karena menurut dia, RSF sama signifikannya dengan militer, bahkan memiliki pengaruh yang kuat di sejumlah wilayah negara tersebut. Baik Dagalo maupun Burhan sama-sama memiliki sejarah pelanggaran hak asasi manusia serius.
Pertempuran terjadi di sejumlah bandara karena militer dan RSF ingin menguasai obyek-obyek vital. Tembak-menembak yang melibatkan artileri, kendaraan berat, bahkan serangan udara juga terjadi di permukiman. ”Toko-toko tutup. Kami bertahan dengan persediaan makanan selama Ramadhan. Tidak tahu bagaimana nantinya kalau pertempuran tidak selesai,” kata warga Khartoum, Ibrahim Nugdallah, kepada media Al Hurra.
Di Omdurran, Ahmad al-Badawi mengatakan, beberapa toko roti yang terletak di jalan-jalan kecil masih buka. Akan tetapi, persediaan gandum mereka menipis. Pekan depan, mereka memperkirakan tidak bisa lagi memproduksi roti untuk warga. Mereka bertahan di rumah-rumah tanpa aliran listrik dan air bersih.
Pemerintah AS melalui Menlu Blinken mengatakan belum memerintahkan warganya di Sudan untuk mengevakuasi diri. Mereka disarankan untuk tetap tinggal di kediaman masing-masing. Pada saat yang sama, Blinken turut mengecam penembakan terhadap delegasi AS yang berkunjung ke Sudan pada Selasa. Rombongan itu selamat, tetapi penyerangan itu memberi preseden buruk. Tidak diketahui pihak yang menembak itu dari militer atau RSF.
Kepala Politik Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell juga mengutarakan kecaman karena rumah Duta Besar UE untuk Sudan diserang pada Selasa. Ia tidak menerangkan secara rinci mengenai pihak penyerang dan cara situasi tersebut diamankan. ”Duta Besar Aidan O’Brian dalam keadaan sehat. Akan tetapi, UE tidak menerima pelanggaran keamanan ini. Harap kedua belah pihak menyegerakan gencatan senjata,” katanya.
Selain baku tembak, berbagai lembaga swadaya masyarakat di Sudan melaporkan bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan dan apotek dijarah. Hal ini menuai protes dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus menyayangkan peristiwa itu. Fasilitas kesehatan adalah titik-titik vital yang membantu warga di tengah situasi darurat. Jika dijarah, orang-orang yang terluka ataupun memerlukan pertolongan medis tidak akan bisa dibantu.
Bantuan untuk WNI
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sudan menyalurkan bantuan untuk 200 warga Indonesia. Mereka terdiri dari mahasiswa dan tenaga kerja migran. Petugas kedutaan bersama Persatuan Pelajar Indonesia di Sudan dan Ikatan Mahasiswa Indonesia menelusuri wilayah Arkaweet dan Makmurat. Jarak kedua wilayah itu sekitar 500 meter dari zona konflik.
Selain itu, bantuan juga diberikan oleh KBRI kepada 76 mahasiswa yang mengungsi ke auditorium milik Universitas Afrika. Mereka diberi bantuan mi instan, beras,roti, telur, teh, kopi, dan air mineral. Tercatat, di Sudan ada 1.209 warga negara Indonesia.
Terdapat 15 WNI yang diungsikan ke kantor KBRI. Mereka adalah keluarga dengan anak kecil ataupun ibu hamil. KBRI mengimbau agar WNI yang ingin ke kantor KBRI menunggu hingga situasi aman. (AP/AFP)